Tag Archive: Tokoh Persis


KH.ENDANG ABDURRAHMAN


Image

KH.Endang Abdurrahman dilahirkan di Cianjur tepatnya di kampung Pasarean Desa Bojong Herang Kabupaten Cianjur pada hari Rabu 12 Juni 1912. Ayahnya bernama Ghazali, ibunya bernama Hafsah. Ust.Abdurrahman (begitu beliau disapa jama’ah Persis) merupakan putra sulung dari 11 bersaudara.[1]

Sebenarnya tidak banyak jenjang pendidikan formal yang pernah dimasukin Endang Abdurrahman. Sewaktu kecil pendidikan dan pembinaan agamanya langsung diterima dari kedua orang tuanya, terutama ibunya yang senantiasa membimbing khususnya dalam membaca al-Quran. Sehingga pada usia tujuh tahun Endang Abdurrahman telah khatam (tamat membaca) al-Quran.  Baru setelah memasuki usia 8 tahun (1919) Endang Abdurrahman melanjutkan pendidikan ke madrasah Nahdlatul Ulama al-Ianah di Cianjur.[2]

Di Madrasah al-Ianah ini Endang Abdurrahman mendapat pembinaan dan dididik dengan berbagai disiplin ilmu, terutama dalam kemampuan bahasa Arab. Apalagi madrasah al-Ianah pada saat itu sudah memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa percakapan. Sehingga para santri diwajibkan untuk menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari-hari baik didalam maupun diluar kelas. Dan bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan mendapat sangsi hukum.[3]

Setelah menamatkan pendidikannya selama kurang lebih tujuh tahun di al-Ianah (1919-1926), Endang Abdurrahman pergi ke Bandung untuk mengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama al-Ianah Bandung (1928-1930) atas permintaan Hasan Wiratmana. Disamping itu pada tahun 1930 Endang Abdurrahman bersama shahabatnya Qomaruddin Saleh mengelola Majlis Pendidikan Diniyah Islam (MPDI) yang didirikan oleh Tuan Alkatiri di Gang Ence Azis No.12/10 Kebon Jati Bandung. Di lembaga MPDI ini diselenggarakan pendidikan agama bagi anak-anak pada bagi hari dan orang tua pada malam hari.[4] Ternyata perjalanan dan pengalaman baru tersebut menciptakan kemajuan, dengan diangkatnya Endang Abdurrahman sebagai tenaga pengajar di HIS, MULO, KWEEK SCHOOL untuk mata pelajaran Bahasa Arab.[5]

Tahun 1934, Endang Abdurrahman bergabung dengan M.Natsir dan Pendidikan Islam (Pendis) dijalan Lengkong Besar Bandung. Bersama itu pula Endang Abdurrahman mulai tertarik dengan paham yang dibawa oleh Persis yang diterimanya dari Ahmad Hassan. Bahkan pada akhirnya Endang Abdurrahman masuk pada jam’iyyah (organisasi) Persis dan menjadi murid Ahmad Hassan yang setia dan paling dekat.[6]

Bila dicermati, ternyata Endang Abdurrahman lebih cenderung hidup dalam dunia pendidikan Islam, baik itu bergabung dalam jamiyyah Persis maupun sesudah ia bergabung. Dunia pendidikan tidak pernah ditinggalkannya.

Memperhatikan perjalanan sejarah kepemimpinan jamiyah (organisasi) Persis, dapat dikatakan bahwa KHE.Abdurrahman merupakan kepemimpinan Persis yang paling dominan. Selama kurang lebih 21 tahun, yaitu tahun 1962 sampai tahun 1983 menjabat sebagai Ketua Umum Persis, KHE.Abdurrahman telah banyak berperan bahkan mempengaruhi pandangan dan pemikiran bagi jamiyyah (organisasi) Persis dan para anggotanya. Meskipun dalam memberikan suatu penilaian terkadang sangat berlebihan, sekalipun hal tersebut merupakan sebuah kebijakan pimpinan.

Keterkaitan dan keterikatan KHE.Abdurrahman dengan Persis sudah dimulai sejak tahun 1934, saat ia dilibatkan sebagai tenaga pengajar pada lembaga Pendidikan Islam (Pendis) Persis yang waktu itu dikelola oleh M.Natsir. Kemudian pada tahun 1952 beliau dipercaya menjabat sebagai ketua bagian tabligh dan pendidikan Persis. Bahkan pada tahun 1953, yaitu pada muktamar ke-5 di Bandung, KHE.Abdurrahman terpilih sebagai Sekretaris Umum Pusat Pimpinan Persis.

Meskipun kapasitasnya saat itu sebagai sekretaris umum, namun dalam memberikan pengaruh pemikiran terhadap Persis dan pembinaan kepada para anggotanya sangat dominan. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat KHE.Abdurrahman lebih terlihat  menonjolkan ke-ulamaannya dan tidak terlalu disibukkan dengan persoalan politik dalam negeri, seperti halnya M.Isa Anshary yang disamping menjabat Ketua Umum Persis, ia juga merupakan salah seorang fungsionaris dan pengurus dalam partai Masyumi.

Pasca Muktamar ke-7 di Bangil, tepatnya  tahun 1962 melalui referendum KHE.Abdurrahman terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis. Hal ini terjadi karena beberapa keputusan muktamar tidak disetujui oleh mayoritas cabang-cabang Persis dan diveto oleh Majelis Ulama Persis.[7]

Kedudukan KHE.Abdurrahman sebagai Ketua Umum dan sekaligus pemegang kebijakan umum nampak tidak hanya bertanggung jawab terhadap pembinaan jamiyyah ditingkat pusat semata, tetapi ia banyak memberikan perhatian dan terjun langsung serta membina cabang-cabang dan jamaah-jamaah yang ada. Maka hampir dipastikan setiap cabang dan jamaah mengenal langsung sosok KHE.Abdurrahman baik dalam kapasitasnya sebagai seorang mubaligh, maupun sebagai pucuk Pimpinan Persis.[8]

Dalam Muktamar Persatuan Islam (Persis) ke-8 di Bandung tahun 1967, KHE.Abdurrahman kembali terpilih dan dipercaya kembali sebagai pucuk Pimpinan Persis.[9] Bahkan kemudian pada tanggal 16-18 Januari 1981 melalui Muakhat,[10] KHE.Abdurrahman kembali menduduki pucuk Pimpinan Persis. Sehingga selama tiga kali berturut-turut ia menjabat sebagai Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis setelah berakhirnya masa kepemimpinan M.Isa Anshary.[11]

Dilihat dari kegiatan organisasinya, pada masa kepemimpinan KHE.Abdurrahman (1962-1983), menunjukkan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan, baik dari tingkat pusat hingga ketingkat cabang. Hal tersebut menurut KH.Shiddiq Amien[12] tidak lepas dari langkah serta kebijakan yang dilakukannya, yaitu penguatan kedalam organisasi.[13] Oleh karena itu menurut M.Natsir, bahwa keepemimpinan KHE.Abdurrahman lebih banyak mewarnai arah perjuangan Persis dengan tabligh-tabligh dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren), sehingga Persis sebagai organisasi massa tidak memperlihatkan langkah perjuangannya kearah politik. KHE.Abdurrahman menurut M.Natsir dalam memimpin organisasi Persis lebih berorientasi pada organisasi agama, sebab ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan political leadhers.[14]

Dalam konteks sejarah pembaruan Islam di Indonesia, kepemimpinan KHE.Abdurrahman dalam organisasi Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi dan kedudukan Persis sebagai organisasi yang bertujuan mengembalikan ummat kepada al-Quran dan al-Sunnah. Perhatian Persis lebih tertuju kepada usaha menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Hal tersebut dilakukan melalui pendidikan model pesantren, tabligh dan penerbitan.[15] Namun demikian, sesungguhnya keberadaan dan nilai Persis bukan terletak pada sisi organisasinya karena ia kecil apabila dilihat dari jumlah anggotanya, tetapi lebih kepada upaya penyebaran paham dan pemikiran yang dianutnya.[16]

Disamping sebagai pucuk pimpinan organisasi, ulama, da’i (juru dakwah), KHE.Abdurrahman juga dikenal sebagai pendidik (guru). Ia menyadari bahwa betapa pentingnya aspek pendidikan dalam sebuah organisasi pergerakan. Sehingga wajar ia tidak pernah meninggalkan dunia pesantren yang dirintisnya sampai meninggal. Bahkan ketika M.Natsir menawarkan untuk menjadikannya sebagai utusan Ahli Hukum Islam dari Indonesia ke Rabithah Alam Islami, ia menolaknya dengan alasan tidak mau meninggalkan pesantren.[17] Hal inipun sesuai dengan garis perjuangan dan pendirian para pendahulu Persis seperti M. Natsir yang berkeyakinan bahwa maju mundurnya suatu kaum atau pergerakan sangatlah bergantung kepada besar tidaknya perhatian terhadap pendidikan yang berlaku dikalangan mereka.[18]

Bagi KHE.Abdurrahman, dunia pendidikan bukanlah suatu yang asing dalam kancah perjuangannya. Sebab sebelum bergabung dengan Persis, bakat sebagai seorang pendidik terlihat ketika masih muda sudah mendapat kepercayaan untuk mengelola dan mengajar di Madrasah al-Ianah Bandung (1928-1930), kemudian menjadi  tenaga pengajar (guru) di Majelis Pendidikan Diniyah Islam (MPDI) dan pernah mengajar bahasa Arab di HIS Kweek School (1930-1934).

Setelah bergabung dengan jamiyyah (organisasi) Persis, KHE.Abdurrahman mulai aktif mengajar di madrasah yang diselenggarakan oleh bagian pendidikan Persis bersama dengan ustadz Hamid dan ustadz Muhammad (1935). Selain itu ia juga memberikan pelajaran agama Islam di Pendidikan Islam (Pendis) yang saat itu dipimpin oleh M.Natsir.[19]

Pada saat Pesantren Besar yang dipimpin Ahmad Hassan pindah ke Bangil, KHE.Abdurrahman yang memimpin Pesantren Kecil-nya kemudian mengubahnya menjadi Pesantren Persis Bandung. Dan mulai saat itulah pesantren Persis berkembang kedaerah-daerah dimana organisasi Persis berada.

Seiring dengan perkembangan pesantren, KHE.Abdurrahman mulai meletakan pembaruan dalam kurikulum. Disamping mata pelajaran agama yang pokok, juga disertakan mata pelajaran umum sebagai penopang, sehingga diharapkan para alumninya tidak merasa rendah diri dalam pergaulan terutama dikota, yang lapisan soasialnya antara lain terdiri dari para intelek yang mendapat pendidikan sekolah Belanda dan sekolah umum setelah jaman kemerdekaan.[20]

Sebagai pimpinan pesantren dan sekaligus guru, ia mempunyai tanggung jawab besar terhadap maju mundurnya pendidikan dipesantren tersebut. Oleh karena itu hampir seluruh tenaga dan waktunya dicurahkan untuk memimpin sekaligus memberikan pelajaran dipesantren. Hampir setiap hari (kecuali jum’at) mulai  dari pukul 07.00 – 11.00 merupakan waktu yang digunakannya untuk memberikan pelajaran. Diantara materi yang diberikannya adalah Bahasa Arab, Tafsir, Hadits dan Ushul Fiqh.

Dalam memberikan dan menyampaikan pelajaran Bahasa Arab, KHE.Abdurrahman tidak terlalu mengorientasikan agar para santrinya mampu berkomunikasi (muhawwarah), tetapi lebih kepada upaya agar para santrinya mampu menguasai gramatika Bahasa Arab seperti halnya ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan semisalnya, dengan tujuan bisa membuka dan menguasai kitab-kitab kuning. Sehingga kelak bisa menguasai tafsir maupun hadits.[21]

Disamping sebagai pimpinan dan guru pesantren Persis Bandung, KHE.Abdurrahman juga diangkat menjadi dosen di Perguruan Tinggi. Sejak tahun 1959 ia diangkat sebagai dosen dan guru besar Ilmu Tafsier dan Hadits di Universitas Islam Bandung (UNISBA). Bahkan pada tahun 1967 ia juga diangkat menjadi dosen FKIP-IKIP (sekarang UPI) Bandung untuk mata kuliah PAI. Pada kenyataannya atsar (bekas) perjuangan melalui kampus dapat membuka pikiran dikalangan mahasiswa sehingga cahaya al-Quran dan al-Sunnah mulai terlihat.[22]


[1]  KHE.Abdurrahman, Istifta : Tanya Jawab Masalah Agama, (Bandung : CV Husada, 1991), cet.1, h.vii, lihat pula , M.Fauzi Nurwahid, op.cit., h..9

[2]  Perjuangan Seorang Ulama, Majalah Risalah, April, 1985, h.50. lihat pula Dadan Wildan Anas, Yang Da’i Yang Politikus ; Hayat Dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, op.cit., h.121

[3]  M.Fauzi Nurwahid, op.cit., h.10-11

[4]  Dadan Wildan Anas, loc.cit., h.122

[5]  KHE.Abdurrahman, op.cit., h.viii

[6]  Ibid.

[7]  M.Fauzi Nurwahid, op. cit., h.50-51

[8]  Shiddieq Amien, Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), Wawancara Pribadi, Bandung, 19 Januari 2002. lihat pula, Dari Daerah Ke Daerah, Majalah Risalah, Mei, 1963, h.20

[9]  Tasykil Pusat Pimpinan Persis Hasil Muktamar ke-8 di Bandung, Majalah Risalah, Maret, 1968, h.35

[10]  Muakhat artinya mempersaudarakan (kembali). Menurut M.Rusyad Nurdin, muakhat diadakan atas desakan dari berbagai cabang Persis yang menghendaki adanya Muktamar, sebab sudah beberapa kali muktamar tidak diselenggarakan. Oleh sebab itu sebenarnya muakhat adalah pengganti muktamar, namun demikian dengan muakhat ini Persis terkesan ekslusif, menutup diri dan bahkan merasa benar sendiri. (Abdul Latif Muchtar, op. cit., h.xiii dan 190)

[11] KHE.Abdurrahman, op. cit., h.viii

[12] KH.Drs Shiddiq Amien adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Persis setelah berakhirnya masa kepemimpinan KH.Abdul Latief Muchtar MA karena meninggal. Disamping itu Shiddiq Amien merupakan murid KHE.Abdurrahman yang sering diberi kepercayaan untuk menjawab masalah masalah yang ditanyakan oleh jamaah.

[13]  Shiddiq Amien, Ketua Umum Pimpinan Pusat Persis, Wawancara Pribadi, Bandung, 19 Januari, 2002

[14]  M.Fauzi Nurwahid, op. cit., h.67. Lihat pula, Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus : Hayat Dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, op. cit., h.135

[15]  A.Latief Muchtar, op. cit., h.160

[16]  Dadan Wildan, op. cit., h.138

[17]  M.Latief  Nurdin SE, Ketua PW.Persis DKI Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 24 Januari 2003

[18]  Thohir Luth, M.Natsir, Dakwah Dan Pemikirannya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), cet.1, h.94

[19]  M.Fauzi Nurwahid, op. cit., h.103

[20]  Ibid., h.106

[21]  KHI.Shodikin, Anggota Dewan Hisbah dan Majelis Penasihat PP.Persis, juga murid KHE.Abdurrahman, Wawancara Pribadi, Bandung , 5 Januari, 2003

[22]  Sekelumit Riwayat Hidup Kiai Haji Endang Abdurrahman, Majalah Risalah, (Bandung), No.8, JUli, 1983, h.23. lihat pula, M.Fauzi Nurwahid, op. cit., h.113

(Sumber : SKRIPSI S1 Abu Alifa Shihab)


Cikal bakal ulama besar Persatuan Islam ini lahir di Cianjur, tepatnya di Bojong Herang pada tahun 1935. Ayahnya bernama Didi, ibunya bernama Maemunah. Saudaranya berjumlah 11 orang. Beliau merupakan putra yang ketiga.

Ali Ghazaly, akrab dipangil Ustad Ali atau Ustad Ghazaly, lahir dikeluarga yang agamis serta taat beribadah. Ali Ghazaly sejak kecil telah memulai hidupnya dengan mandiri. Beliau mulai menekuni perdagangan sejak masih kecil, yaitu dengan berjualan tauco milik ayahnya. Kendati ayahnya adalah seorang pengusaha besar tauco, tetapi dia tidak mau menyandarkan namanya kepada nama besar ayahnya yang populer sebagai pengusaha tauco waktu itu.

Menginjak usianya yang ketujuh tahun, tepatnya pada tahun 1942 Ghazaly mulai memasuki jenjang pendidikan Sekolah Rakyat (setingkat SD) di Bojong Herang sampai tahun 1947. Merasa tidak puas di Sekolah Rakyat, Ghazaly kecil mulai berminat belajar ilmu agama di Madrasah Mu’awanah Cianjur. Disekolah ini beliau berkenalan dengan berbagai pengetahuan agama.

Tahun 1950-1952, Ghazaly menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyyah al-I’anah Cianjur. Kemudian beliau melanjutkan ke Tajhijiyyah pada tahun 1952-1953. Setamat Tajhijiyyah, beliau merantau ke Bandung, melanjutkan ke Tsanawiyah pada tahun 1953-1957 di Pesantren Persis Pajagalan. Dan pada tahun 1957-1959 melanjutkan ke Mu’alimien di Pesantren yang sama.

Belajarnya Ali Ghazaly di Pesanteren Persis Pajagalan merupakan langkah strategis perjuangan pada waktu itu. Karena selain di Cianjur memerlukan seorang kader yang faqih terhadap agama, juga tantangan yang dihadapi jauh lebih berat. Oleh karena itu  tak heran jika keberangkatan beliau ke Pesantren Persis Pajagalan adalah hasil musyawarah  ayahnya dengan sejumlah tokoh Persis Cianjur dan di bawah tangung jawab E. Abdurahman.

Selama  A. Ghazaly belajar disana, beliau tinggal di rumah KH. E. Abdurahman. Disanalah beliau lebih luas lagi mendalami ilmu agama dan disana pulalah beliau menemukan jati dirinya

Selama tinggal  di Rumah E. Abdurahman, beliau di amanahi untuk  menjaga dan merawat perpustakan KH. E. Abdurahman. Oleh karena itu beliau tahu persis kitab apa saja  yang sering jadi kajian para santri, juga kitab-kitab yang kerap kali  digunakan gurunya. Dan dengan demikian beliaupun sering mengkaji ulang kitab-kitab tesebut.

Salah satu kajian yang ia minati adalah kajian ilmu Hisab. Beliau tekun mempelajarinya. Hingga pada suatu saat gurunya, KH. E. Abdurahman menemukan catatan kecil beliau yang terselip dalam sebuah kitab. Dengan kejadian itu, E. Abdurahman berkesimpulan bahwa muridnya yang satu ini mempunyai potensi untuk mengembangkan Ilmu Hisab.

Melihat potensi ini E. Abdurahman tidak menyia-nyiakannya. Secara khusus beliau memberikan materi ke hisaban, serta memberikan mandat kepada A. Ghazaly untuk berguru kepada ulama propesional  dalam bidang hisab di Cibarusah, Bogor. Atas biaya gurunya, A. Ghazaly berangkat dan belajar ilmu Hisab disana. Sepulangnya dari sana, beliau berupaya mengembangkan ilmu hisab, khususnya di lingkungan Persis.

KH. A. Ghazaly adalah sosok ulama yang kharismatik dan mempunyai suluk yang Zuhud. Suatu saat beliau menemukan kelas yang kotor dan tidak tertata rapi. Tanpa rasa gengsi, bahwa beliau seorang Pimpinan Pesantren Cianjur, beliau membersihkannya dengan tenang tanpa beban.

Setamat Mu’alimein A. Ghazaly terjun dan mengabdikan diri di masyarakat. Ibtidaiyah dan Diniyah, inilah tempat mengabdi beliau yang pertama.

Tahun 1999 beliau pernah memberikan kuliahan di STAI al- ‘Ianah di Cianjur namun hal itu tak berlangsung lama, karena kesibukan beliau.

Aktivitas yang lainnya, beliau menjadi anggota tim Thaifah Mutafaqihin fiddin (TMD) pada tahun 1987, tim yang terdiri dari para ulama mumpuni yang menangani persoalan dan pertanyaan-pertanyaan agama dalam Majalah Risalah.

Selain itu, beliau juga aktif sebagai Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam.

Kemampuan dibidang hisab yang beliau miliki, menempatkannya juga di Dewan Hisab PP. Persatuan Islam. Banyak prestasinya di bidang ini yang secara langsung dirasakan oleh umat. Al-Manak Islam yang selain memuat tanggal-tanggal hijriyah yang jadi acuan buat penetapan awal-awal bulan seperti awal bulan Ramadhan, Syawwal dann Dzulhijjah, juga memuat waktu-waktu shalat, waktu Syurq (terbit matahari), dan kejadian gerhana, adalah salah-satu buah tangannya.

Karena kepiawaiannya di bidang hisab, beliau pernah diberi penghormatan oleh pihak Institut Teknologi Bandung (ITB), serta oleh Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII). Dan dengan kepiawaiannya beliau sering diundang oleh Universitas-universitas ternama. Sebut saja Universitas Ibnu Khaldun Fakultas Agama Islam Bogor, pernah mengundang beliau dalam acara seminar ilmiah dengan tema: “Rukyat dan Hisab dalam tinjauan Astronomi dan Fuqaha”, yang dilaksanakan pada tanggal 28 November 1999.

Dan karena kepiawayaannya juga beliau pernah di undang oleh lembaga-lembaga yang memiliki popularitas tinggi, seperti Boscha, NASA, Planetarium, LIPI, Badan Geofisika TNI AU, dll.

Selain itu, beliau juga tercatat sebagai anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Departemen Agama RI. (Sumber : http://muslimnurdin.wordpress.com)

KH.Latief Muchtar


Image

Pendapat Amin Rais Tentang KH. Latief Muchtar

KH Abdul Latief Muhtar seorang ulama yang ikhlas, seorang ulama yang rendah hati dan telah berjuang sepanjang hidupnya untuk kejayaan islam dinegri ini. Secara pribadi saya sangat dekat dengan almarhum. Pernah bepergian ke RRC dalam sebuah rombomgan. Kemudian, setiap kali ada rapat ICMI maupun rapat Dewan Dakwah juga sering bertemu dan bertukar pikiran.

Buat saya, ada tiga hal yang mencuat dari kehidaupan almarhum itu. Pertama, ketawaduh’an, kerendahan hati beliau. Beliau sebagai seseorang yang ‘alim, yamg mempunyai ilmu agama yang cukup banyak tidak sedikitpun menampakkan rasa kibir atau kesombomgan. Beliau seseorang yang betul-betul rendah hati. Seperti kata pepatah, yaitu padi yang makin berusi makin menunduk. Saya kira, itulah Pak Abdul Latief Muhtar.

Kedua, dalam soal kederhanaan. Saya kira, semua orang mengakuinya. Beliau bukan ulama yang mudah terpaku atau silau oleh keduniaan. Jadi, sejauh yang saya ketahui, ketika ketemu di Bandung, Jakarta, dan luar negri, maka kesederhanaan itu nampak sekali sebagai watak beliau yang sangat menonjol.

Dan ketiga, saya kira, kecintaannya kepada umat yang dipimpinnya itu junga sudah menjadi pengetahuan bersama. Beliau meminpin jami’iyah Persis itu dengan segala pengabdian dan ketekunan. Dan karena itu dengan kontek ini saya benar-benar berharap bahwa seperti kata pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Mudah-mudahan dikalangan Persis ada pengganti beliau yang bisa meneruskan langkah-langkah perjuangan almarhum.

Saya juga sering kenal dengan tokoh-tokoh Persis baik yang tua maupun yang muda. Menurut saya, tidak pernah sedikit pun ada genjalan pisikologis. Mereka mendambakan ukuwah islamiah secara ikhlas. Dan baik pinpinan persis yang ada di Bandung dan Bangil mau pun d itempat-tempat lain saya juga sering bertemu. Dan saya rasakan gelombang mau pun frekwensi kejiwaan mereka-mereka itu sama dengan Muhammadiyah.

Komentar Djamaluddin Zuhri Siradj, LC.
(Teman akrab sesama mahasiswa Indonesia di Mesir tahun 1950-an)

Kesan saya tentang beliau waktu di Mesir, saya datang di Mesir tahun 1955. dan beliau datang hampir 2 tahun sesudah saya. Beliau ditampung oleh kementrian P dan K Mesir, yaitu PTIP. Kemudian saya sebagai teman yang lebih dulu datang di Mesir sering berkunjung ke kawan-kawan yang baru datang dari tanah air untuk melimpahkan kekangenan pada tanah air. Dan mereka yang baru datang sering minta pengarahan untuk minta pengalaman-pengalamannya kepada kami-kami yang sudah dulu datang sebagai kakak atau saudara tua di luar negeri.

Ternyata uztadz Latief orangnya lembut, mudah dan suka menerima pendapat orang lain, serta tawadhu. Tidak ada sedikit pun gejala congkak atau takabur. Beliau minta pengarahan kepada saya dan pengalaman-pengalaman. Saya masih ingat betul lemah lembutnya karena itulah yang menonjol benar.

Setiap ketemu dengan saya dan teman-teman, beliau itu ngunduh (memetik), ngangsu (menimba), tidak terus ngguroni (menggurui), ini yang menonjol dari beliau, yaitu tidak suka menggurui. Sampai akhirnya beliau menjadi pimpinan Persis, betul-betul menuangkan dari sumur ilmunya.

Beliau itu orang yang lugu, tidak suka ngakali, minteri mau pun suka bengak-bengok atau teriak-teriak. Tingkah laku yang tidak patut itu ndak ada sama sekali pada dirinya. Dia betul-betul luas, lugu, tetapi juga luwes. Beliau itu khusuk. Jadi memang patutlah kalau di tanah air dia menjadi pemimpin karena memang sudah pada tempatnya.

Mungkin karena dia ingin segera memimpin umatnya, maka beliau kok memilih perguruan tinggi swasta yang cepat, yaitu di Dirosat Islamiyah di Syari’ah Syiroodhiyah di mana Prof. Dr. Harun Nasution juga sekolah di situ. Dan mereka sudah merampungkan pelajarannya sebelum kami dan lalu pulang ke tanah air. Sedangkan Harun Nasution terus melanjutkan ke Kanada.

Begitu saya dengar beliau menjadi pimpinan Persis di Bandung, saya merasa bahagia sekali karena merasa ada teman berjuang. Dan disitu yang saya garis bawahi mengenai fatwa tentang bunga atau rente di bank hasil deposito. Di sini Abdul Latief Mukhtar konsisten dengan apa yang diterima di Mesir. Sebab ulama di Mesir semuanya mengharamkan rente bank seberapa kecil pun. Sedang yang menghalalkan bunga deposito bank, baik bank swasta maupun bank negara, itu hanya Farid Wajhi dan Rasyid Ridha. Sedangkan yang mayoritas seluruhnya menolak rente sedikit maupun yang banyak itu haram.

Begitu saya mengetahui fatwanya begitu, saya girangnya bukan main. Karena tentu saja yang disampaikannya itu persis sama dengan ilmu yang saya terima di Mesir.Juga mengenai bersatunya Persis Bangil dengan Persis Bandung di bawah Abdul Latief Mukhtar, girang saya tambah luar biasa lagi. Apalagi dengan sudah adanya bank syariah di Indonesia, maka tidak ada alasan lagi untuk menghalalkan bunga bank, baik sedikit maupun yang banyak.

Semangat menuntut ilmunya tampak betul. Kalau memang semangat menuntut ilmunya tidak ada, tentu setelah merasa terlalu lama di universitas tentunya pulang saja atau bekerja di kedutaan, tetapi beliau tidak. Beliau masuk sekolah swasta yang sesuai dengan cita-citanya, yaitu dirosan Islamiyah dengan Islamic Studi spesialisasinya. Setelah mendapat ijazah, baru pulang. Itu namanya penuh semangat ditandai dengan sampai merampungkan studinya. (Sumber : http://thefoundingfatherofpersis.blogspot.com)


ImageKH.Shiddiq Amien merupakan sosok ulama intelektual yang mampu memberikan pencerahan pemikiran dan gerakan dakwah khususnya melalui dan dilingkungan jamiyyah Persatuan Islam. Harus diakui Persis dibawah kepemimpinannya mengalami sebuah penyegaran pemikiran konsep dan program yang disesuaikan dengan keadaan yang dibutuhkan. Ulama asal Kota Tasikmalaya yang gemar membaca ini, merupakan sosok yang kehadirannya sangat dinantikan dan dibutuhkan oleh umat. Gaya penyampaian yang komunikatif dan argumentative, disertai gaya dakwah yang memikat membuat orang tidak mau beranjak untuk tetap menyimak pesan yang disampaikannya. Mulai dari masyarakat menengah kebawah, sampai menengah keatas. Dari mulai petani sampai ketingkat akademisi bahkan ketingkat elit (pejabat). KH.Shiddiq Amien mewarisi pemikiran intelektual dan keulamaan,  sekaligus akan memberikan kesan istimewa mengenai kepribadian dan pematangan intelektual dan sangat disegani dilingkungan jamaah dan jamiyyah Persis. Shiddiq Amin merupakan figur ulama langka dijaman sekarang. Beliau seorang ulama yang serius dalam prinsip tapi cukup toleran dengan pemahaman lain.

KH.Shiddiq Amien adalah seorang ulama intelektual dan intelektual ulama ternama dalam jajaran jamiyyah Persatuan Islam (Persis) khususnya. Sebagai ulama beliau mampu membawa jamiyah Persis ke level mengagumkan. Sebagai seorang intelektual muda, beliau mampu menyatukan tradisi keulamaan dan keintelektualan secara sekaligus.

KH.Shiddiq Amien, yang nama aslinya Shiddiq Aminullah lahir di Tasikmalaya, tepatnya di kampung Benda Kecamatan Cipedes, tanggal 13 Juni 1955, dan meninggal dunia pada hari Sabtu, 31 Oktober 2009, di Rumah Sakit Al-Islam, Bandung.  Ayahnya bernama KH.Ustman Aminullah[1] dan ibunya bernama Hj.E.Hamidah. Ayah beliau adalah salah seorang murid A.Hassan guru utama Persis, disamping itu KH. Utsman Aminullah merupakan pendiri dari Pesantren Persi 67 Benda. Tidak heran jika ketekunan untuk mempelajari agama Islam mengalir kepada anaknya.[2]

Sewaktu kecil Shiddiq Amien sebagai layaknya seorang anak, ia senang bermain dengan anak seusianya. Beliau sering ikut menghadiri pengajian bersama ayahnya. Bahkan Ibunya menuturkan bahwa Shiddiq Amien  (yang masa remajanya suka main gitar ini) senantiasa ingin ikut jika ayahnya mengisi pengajian. Bahkan suka menangis apabila ia tidak diajaknya.

Menginjak remaja, Shiddiq Amien pandai bergaul dengan remaja seusianya. Bermain gitar diantara yang ia lakukan bersama teman sebayanya. Disamping sangat menyayangi adik-adiknya, Shiddiq Amien remaja juga suka bercanda, dan terkadang “usil” sama adik-adiknya.  Bahkan pernah suatu ketika saat melihat adiknya sedang shalat, ia bermain gitar dan bernyanyi yang isinya berupa candaan, sampai adiknya yang sedang shalat tertawa dan membatalkan shalatnya. Itulah Shiddiq Amien diusia remaja (14 tahun).[3]

Jenjang pendidikan formal Shiddiq Amien diawali dengan memasuki SDN Benda Nagarasari Tasikmalaya, kemudian masuk SMPN 3 Tasikmalaya dan SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Selesai menamatkan pendidikannya di SMA (1974), beliau melanjutkan pendidikan formalnya di ABA (seakarang STBA) yang waktu kuliahnya sore hari. Maka pada pagi harinya Shiddiq Amien belajar di pesantren Persis 1 Pajagalan pada tingkat Mu’allimien yang di pimpin (saat itu) oleh KH.Endang Abdurrahman. Dilihat dari sisi pendidikan pesantren beliau terbilang cukup mengagumkan, mengingat tanpa memasuki jenjang Tsanawiyah bisa langsung masuk ke Tingkat Mu’allimien. Saat itu Shiddiq Amien hanya dititipkan oleh sang ayah kepada KHE.Abdurrahman.[4] Pendidikan ilmu agamanya lebih banyak diasuh oleh sang ayah,  baik itu ilmu alat seperti balaghah, nahwiyah, sharaf dan lain-lain, atau-pun dalam membaca kitab kuning. Sekalipun beliau tidak pernah mengeyam pendidikan tingkat Tsanawiyah secara formal di Persis, namun beliau mampu menyusul ketertinggalan itu bahkan menjadi murid kepercayaan ustadz Abdurrahman. Tentu saja pendidikan agama yang senantiasa beliau terima dari ayahnya menjadi modal. Sebab hampir tiap malam beliau diajari oleh ayahnya. Seperti dituturkan mantan santrinya, bahwa ia sering mendengar beliau  membaca hadits atau kitab yang diajarkan oleh ayahnya. Bahkan menurut penuturan ibunya Hj.E.Hamidah bahwa sebelum jang Shiddiq (panggilan keyasangan dari ibu) pergi ke Bandung, selama kurang lebih 2 bulan beliau tiap habis shalat shubuh oleh ayahnya diasah mengenai ilmu alat seperti nahwiyah, balaghah, mantiq dan sebagaianya. Maka tidak heran jika beliau bisa langsung masuk ke jenjang Mu’allimien. Bahkan Shiddiq Amien banyak mendapat kepercayaan dari gurunya Ustadz Abdurrahman. Meskipun hanya mengenyam pendidikan selama dua tahun di Pesantren (Mu’allimien) namun pengetahuan yang dimilikinya tentang agama Islam cukup luas dan mendalam. Hal ini disebabkan beliau selalu rajin dan ulet dalam mempelajari agama Allah. Bukan hanya melalui pendidikan Mu’allimien, namun juga melalui pengajian-pengajian yang selalu dihadirinya, selain itu dengan penguasaan dua bahasa asing menyebabkan mampu membuka berbagai disiplin ilmu. Dan pada tahun 1979 beliau memperoleh gelar S1-nya di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA), sedangkan gelar MBA diraihnya lewat JIMS.

Suatu hal yang patut mendapat sorotan dan menarik jika ditelusuri ikhwal pendidikannya yang menjadi sosok ulama kharismatik. Kesan yang akan muncul dan terbersit, bahwa pendidikan yang dijalaninya agak berbeda dengan para Kyai pada umumnya. Bahkan mungkin berbeda dengan jalur pendidikan yang biasa dijalani para putra pimpinan pesantren. Peta perjalanan pendidikan yang dijalani Shiddiq Amien sangat unik dan mengesankan. Jika ditinjau dalam perspektif yang lebih terang, hal ini menunjukkan betapa visionernya Shiddiq Amien sejak masih muda.

Shiddiq Amien mampu untuk terbang melampaui paradigma pendidikan pesantren yang berlangsung selama berpuluh tahun. Beliau kemudian menuruti minat dan bakatnya dalam hal pendidikan, meskipun berbeda dengan tradisis pesantren. Namun, terbukti akhirnya memberikan manfaat yang besar dikemudian hari. Jenjang pendidikannya sebagai sosok Kyai dengan wawasan yang luas.[5] Hal ini bisa kita bayangkan bahwa Shiddiq Amien semasa masih belajar di SMA 1 Tasikmalaya, sudah diberi tugas oleh ayahnya untuk mengajar di pesantren Persis 67. Mata pelajaran yang ia sampaikan adalah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai seorang guru, Shiddiq Amien dalam menyampaikan pelajarannya sangat komunikatif dan gampang untuk dimengerti. Tidak jarang diantara para santri merasa rugi dan kehilangan jika suatu saat beliau tidak bisa mengajar. Kehadirannya sangat dinantikan oleh para santri.


[1] KH.Ustman Aminullah merupakan murid Ahmad Hassan angkatan pertama ketika Persis pertama kali mendirikan pesantren. Beliau merupakan tokoh pertama yang menyebarkan faham al-quran dan as-Sunnah melalui jamiyyah Persis di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya. (Wawancara Pribadi dengan Pihak keluarga (Hj.E.Hamidah), 20 Juni 2011)

[2]  Hj.E.Hamidah, Ibunda Shiddiq Amien, Wawancara Pribadi, Tasikmalaya, Juni 2011

[3]  Dra. Imas Masaroh Amien, Bagian Kurikulum dan Guru Pesantren Persis 67 Benda, Wawancara Pribadi, 20 Juni 2011

[4]  KHE.Abdurrahman adalah Ketua Umum PP.Persis yang dilakukan melalui referendum dan selanjutnya melalui Muakhat (pengganti Muktamar). Periode kepemimpinan KHE.Abdurrahman ini merupakan periode kepemimpinan Persis ketiga setelah berakhirnya kepemimpinan KH.Mohammad Isa Anshary. Periode ini juga merupakan regenerasi kepemimpinan dari generasi pertama Persis ke eksponen Pemuda Persis, yang merupakan organisasi otonom Persis, tempat pembentukan kader-kader Persis. Lihat Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus : Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis (Bandung : Rosda, 1997, cet.Pertama, h.126-127)

[5] Ian Suherlan, Efri Aditia, Ustadz Shiddiq Amien Ulama Teladan Umat, Jakarta, Indonesia Press 2010, cet.1 hal

(Diambil dari Naskah Buku Perjuangan Beliau (INTELEKTUAL MUDA BERJIWA ULAMA : POTRET DAKWAH DAN PERJUANGAN KH.SHIDDIQ AMIEN) Karya : Abu Alifa Shihab … yang belum diterbitkan!!)


Image

Menulis adalah tradisi peradaban Islam. Sejak dulu kepakaran dan keilmuan para ulama Islam diukur dengan seberapa hebat tulisan-tulisannya. Tiap ulama kemudian berusaha menuliskan apa saja yang mereka ketahui. Lihat Ibnu Taimiyyah, Al-Ghazali, Al-Suyuthi, Ibnu Hajar, dan sebagainya. Mereka dikenal luas sampai masa kini, karena karya-karya mereka yang hebat. Peradaban Islam dapat terwariskan dengan baik ke generasi berikutnya karena tradisi menulis ini.

Di Indonesia pun, tradisi menulis ini adalah tradisi yang hidup di kalangan para ulama dan intelektual kita. Hamka, A. Hasan, M. Natsir, Hasyim Asy’ari, Nawawi Al-Bantani, dan lainnya. Semua dikenal dan dikenang generasi berikutnya karena tulisan-tulisan mereka. Sekalipun secara formal tidak bergelar akademik mentereng, namun tidak ada yang meragukan keilmuan mereka. Bersekolah formal bukan jaminan kualitas keilmuan. Yang lebih penting adalah penguasaan ilmu yang dibuktikan dengan karya-karya mereka.

Di antara semakin sedikit ulama yang sangat peduli pada ilmu dari pada gelar akademik adalah KH. Aceng Zakaria. Secara formal, ia hanya bersekolah sampai SD di kampung kelahirannya, Sukarasa Wanaraja Garut. Karena lahir di lingkungan pesantren, bahkan kakek dan ayahnya adalah kiai terkenal di kampungnya, sejak kecil ia sudah belajar berbagai kitab kuning kepada ayahnya. Saat menyelesaikan SD, sudah enam kitab ia selesaikan.

Ketertarikannya pada kitab-kitab kuning ini membuat kiai yang kini memimpin Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut ini memilih tidak meneruskan pendidikan formalnya. Ia memutuskan untuk mengaji menamatkan berbagai kitab kuning kepada ayah dan paman-pamannya. Berbagai disiplin ilmu mulai aqidah, fiqih, nahwu, sharf, tafsir, hadis, dan lainnya berhasil dipelajari dengan baik. Lima tahun ia lakoni aktivitas itu sambil diberi tugas oleh ayahnya mengajari santri-santri yunior. Selain itu, ia pun diberi tugas untuk bertabligh di berbagai mesjid.

Keinginannya yang kuat untuk belajar mendorongnya untuk merantau ke Bandung. Atas saran beberapa gurunya, ia dianjurkan menemui KH E. Abdurrahman dari Persis. Ia adalah salah seorang murid A. Hassan yang juga saat itu (th. 1969) diamanahi menjabat Ketua Umum PP Persis. Mulanya Ust. Abdurrahman ragu menerimanya. Perlu dimaklumi KH. E. Abdurrahman menyelenggarakan sekolah formal sejak kelas ibtidaiyyah, tsanawiyyah, sampai mu’allimin. Sementara itu, Aceng secara formal hanya lulus SD. Namun begitu, Ust. Abdurrahman diyakinkan bahwa sekalipun tidak bersekolah secara formal, kemampuan dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu agama bisa lebih baik dari yang bersekolah formal. Setelah dites, Aceng Zakaria diizinkan masuk ke kelas mu’allimin, kelas tertinggi yang dibuka KH. E. Abdurrahman di Pesantren Pajagalan Bandung.

Karena kemampuannya yang baik, hanya 1,5 tahun pria kelahiran tahun 1948 ini menyelesaikan studi formalnya. Kemudian Ust. Abdurrahman menugaskannya untuk mengajar di Pesantren Pajagalan. Sambil mengajar, ia tetap diharuskan mengaji berbagai kitab yang belum dipelajari langsung kepada Ust. Abdurrahman. Berbagai kitab seperti Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya diselesaikan secara sorogan kepada Ust. Abdurrahman selama ia mengajar di Pesantren Pajagalan Bandung.

Selain mempelajari berbagai disiplin ilmu, jiwa enterpreuneursip¬-nya sudah diasah sejak kecil. Saat mengaji di kampung pada ayahnya, siang hari ia sudah biasa dilatih bertani dan menjual hasilnya ke pasar di waktu-waktu senggang saat tidak ada jadwal mengaji dan mengajar. Biasanya aktivitas ini dilakukannya siang hari. Saat di Bandung, bersama beberapa saudaranya ia kadang ikut berjualan. Ia sempat berjualan arloji dan barang-barang lain. Kebiasaan ini secara tidak langsung mendidiknya untuk hidup mandiri. Hingga saat ini, ia lebih banyak menggantungkan hidupnya pada usaha sendiri.

Kebiasaannya menulis sudah dilakukannya sejak mengaji pada ayahnya dulu. Selepas mengaji ia sering menuliskan khulâshah (ringkasan) berbagai kitab yang telah dipelajarinya. “Sambil belajar dan bertabligh, saya mulai belajar menuliskan apa yang selama ini saya pelajari. Bahkan manuskripnya masih ada tersimpan rapi”, kenang ayah depalan anak ini. Kebiasaan inilah yang membuatnya sangat gemar menulis.

Sampai saat ini tidak kurang lima puluh (50) judul buku yang telah ditulis oleh kiai yang juga menjabat Ketua Bidang Tabiyah PP Persis ini. Buku-buku yang ditulisnya pun sangat beragam mulai dari Ilmu Nahwu, Sharf, Ushul Fiqih, Musthalah Hadis, Fiqih Muqâranah, Tafsir, sampai tema-tema aktual kontemporer. Apa yang ditulisnya menunjukkan keluasan penguasaan ilmunya dalam berbagai bidang. Tipikal para ulama yang dididik dengan model persantren turats memang tidak fakultatif. Semua ilmu sesuai dengan hirarki ilmu yang dikenal dalam tradisi Islam diajarkan.

Diantara buku yang paling fenomenal yang ditulisnya adalah Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahwi. Buku ini sudah dicetak lebih dari tiga puluh kali sejak pertama kali terbit tahun 1980-an. Tidak hanya santri-santri di Pesantren Persis yang mendapat manfaat dari buku ini. Berbagai kalangan dari mulai mahasiswa sampai eksekutif yang ingin mempelajari ilmu nahwu banyak yang menggunakan buku ini. Tidak heran kalau sampai saat ini sudah lebih dari 150 ribu copy buku ini tersebar ke seluruh Indonesia. “Bahkan buku ini digunakan juga sebagai bahan ajar Ilmu Nahwu praktis di Malaysia”, tutur Ketua STAI Persis Garut ini.

Al-Muyassar ini merupakan rangkuman ilmu nahwu yang mengadaptasi metode praktis sehingga mudah dipahami para pemula, namun tidak juga terlalu enteng untuk pelajar tingkat lanjut. Ust. Aceng, demikian ia akrab disapa, menyusun kitab ini sejak tahun 70-an. Ia mengujicobakannya terlebih dahulu di berbagai tempat, baik kepada santrinya maupun kepada jamaah pengajiannya yang meminta diajarkan ilmu nahwu. Setelah diujicoba selama sepuluh tahun lebih, barulah buku ini dicetak. Hasilnya sangat memuaskan. Saat ini siapapun yang belajar di Pesantren Persis, pasti akan mempelajari buku ini untuk pelajaran ilmu nahwu (gramatika Bahasa Arab).

Selain Al-Muyassar, buku fenomenal lain karangan KH Aceng Zakaria adalah Al-Hidâyah fî Masâ’il Fiqhiyyah Muta‘âridhah. Buku ini berisi tentang pembahasan perbedaan-perbedaan pendapat dalam fikih beserta pemecahannya. Boleh dikatakan buku ini semacam buku fikih perbandingan (fiqih muqâranah) yang jarang ditulis oleh para ulama Indonesia, apalagi dalam bahasa Arab. Tidak heran bila Prof. Umar Hasyim, mantan Rektor Univ. Al-Azhar Mesir memberikan penghargaan yang sangat tinggi pada buku ini saat Ust. Aceng berkunjung menemuinya ke Mesir. Ia memberikan sambutan resmi untuk buku ini. Sejak tahun 1986, buku ini sudah dicetak lebih dari sepuluh kali. Bahkan saat ini, para pembaca pemula bisa membaca edisi terjemahan bahasa Indonesianya dalam tiga jilid.

Buku-buku lain yang telah diterbitkan diantaranya adalah: Kesalahan Umum dalam Pelaksanaan Sholat, Etika Hidup Seorang Muslim, Materi Dakwah, Doa-doa Shalat, Mengungkap Makna Syahadat, Bai’at dan Berjama’ah, Belajar Nahwu Praktis 40 Jam, Belajar Tashrif Sistem 20 Jam, Kamus Tiga Bahasa (Arab-Indonesia-Inggris), Haramkah Isbal dan Wajibkah Jenggot?, Sakitku Ibadahku, Jabatanku Ibadahku, Al-Kâfi fi Al-Ilm Al-Sharfi, Tarbiyyah Al-Nisâ, Kitab Al-Tauhid (3 jilid), Ilm Al-Mantiq, Al-Bayân Fi ‘Ulûm Al-Quran, Adâb Al-Muslim, Tarbiyyah Al-Nisâ, serta belasan buku lainnya yang ditulis dalam bahasa Arab dan Indonesia.

Saat ini, selain menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Garut, beliau menjadi salah satu anggota Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Pengurus dan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) Kabupaten Garut.

Aktivitas dakwah yang beliau geluti sangat luas. Selain aktif berdakwah di lingkungan Persatuan Islam, Kyai Aceng tercatat sebagai instruktur tetap Kursus Kesejahteraan Rohani (KKR) Pengajian Wanita Salman ITB Bandung, instruktur tetap pada Training Haji di berbagai instansi, penceramah rutin di Yayasan Madani Geologi ITB Bandung, pengisi rutin kuliah subuh di berbagai radio dan acara Cahaya Kalbu di TVRI Jabar-Banten, serta seabreg aktivitas dakwah di tempat lainnya.

Kyai Haji Aceng Zakaria menjadi teladan menarik bagi pecinta dan pegiat ilmu. (***) … (Sumber:http://insistnet.com)